Senin, 12 Maret 2012

tuhfatul ahbab karya abdurrahman al bawanni


"  (1) Bismi `l-Lāhi `r-rahmāni `r-rahīm
2
  Dengan nama Allah jua aku memulai memaca kitab ini yang amat murah dalam negeri dunia ini lagi yang amat mengasihani akan hamba-Nya yang mukmin dalam negeri akhirat itu. Al-ḥamduli`l-Lāhi`lladzī taqada mat ‘anil asbā ha dzātuhu. Artinya, [ṭ.w][1] segala puji-pujian bagi Allah yang suci zat-Nya daripada segala yang menyerupai.// (2)Wa {tanazzahat}[2] mušā bahata`l-Amṯāli ṣifātuhu. Dan yang suci segala sifat-Nya daripada {serupa-Nya}[3] oleh segala {misal}[4]. Wa dalat ‘alā waḥdaniyyatu ayyātuhu. Dan yang menu(n)jukkan[5] segala tanda-Nya itu atas keEsaan-Nya. Wa šuhada hu [birabūnīhi] birabūnīhi[6] ma’na dātihi. Dan yang naik {saksi}[7] akan Ketuhanan segala perbuatan-Nya.
Wa`ṣ-ṣalātu wa`s-Salāmu ‘alā sayyidinā Muḥammad alladī taqada mat ḥaqiqatun wa martabatuhu wa qā akiratu ṣūratuhu wa ba’ṯatihi. Dan rahmat Allah, dan salam-Nya atas-Nya, penghulu kita, Muhammad yang telah terdahulu hakikatnya dan martabatnya, dan terkemudian jadinya dan bangkitnya.  Wa’alā ālihi wa`ṣ-ṣaḥbihi al-qāimīna bi aḥsāni iṭ-ṭarīqi al-Muttahdīnu ilā al-haqāiqi al-Muẓahhirīna asrāri`l-daqāiq. Dan atas segala keluarganya dan sahabatnya yang berdiri mereka (i)tu[8] pada hal sebaik-[se]baik[9] bila ḥisāb?(jawab) adalah segalanya itu terkandung Amhātu`ṣ-ṣifātuhu wa ḥayātu 12 ḥadāiqu`l-yaqīn >// (3) jalan yang beroleh pe[r]tunjuk[10] mereka (i)tu kepada Taḥqīq yang menyatakan rahasia yang sebenar-[se]benar(nya)[11].

Ammāba’du Fayāqūlu al-faqīru aḍ-ḍa’īfu ’Abdu`r-raḥman Al-bawanni bilādi `š-šāfi’īni madhabnu`š-šā’īri i’tiqādu`š-šaṭṭārī ṭarīqan qad sā allanī ba’ḍu aṣḥābib ana`ṣ-ṣana’a risālatun muktaṣṣarātan bilisāni al-Jāwī bayāna aṣli`l-I’tiqādi al-Kāmili wa murāti bi`l-Wujūdi. Adapun kemudian dari itu, maka berkata fakir yang ḍa’īf, Abdurrahman namanya, Bawanni nama negerinya, (syafi’i) mazhabnya[12], Syair nama iktikadnya, Syattari nama tarekatnya. Sanya telah meminta kepada akan setengah daripada sahabatku akan bahwasannya yakni ahli`s-sunnah wal jamā’ah kafir buta suatu risalah yang simpan dengan bahasa Jawi pada menyatakan asal Iktikad yang sempurna dan pada menyatakan martabat wujud Allah.
Fa ajabtuhu ṭāliban mina`l-Lāhi tawāba <bagi segala="" bahari="" maka="" dinamai="">mukālafatu lilhawādit, karena tiada berkehendak kepada yang lain. Dinamai Qiyāmuhu binafsīhi, tiada zat-Nya bersusun dan bersilang bagi segala makhluk, maka dinamai Ia Waḥdah, Waḥdāniyyah. Maka, segala nama ini Ḥayun juga. Maka Ḥayun itulah bernama Allah Subhanawataala. (soal) Apabila belum lagi sampai Ḥayun itu kepada Alam, maka dinamai akan dia Aḥadiyyah. Apabila sampailah Ḥayun tiadalah pada alam hak taala dinamai a’yān tābitah. Maka, a’yān tābitah itulah yang mengadwam. Berlakuan Ia laku Wujud, pada hal alam-Nya. Dan terperi-Nya baqā, Pada hal fananya ilak ha ha ha ha> [13]// (4)yaumu`l māiya wa rajjiyā ayyannafa’a bihā jamī’u `ṭ-ṭālibi wassamaituhā tuḥfatu`l-Aḥbāb. Maka artinya, maka kafir katakanlah pintanya, padahal aku minta pahala daripada Allah pada hari kiamat. Dan, haraplah aku akan bahwa memberi manfaat ia dengan dia akan segala yang menuntut jalan kepada Allah, dan kunamai akan dia, Tuḥfatu`l-Aḥbāb, artinya haluan segala orang yang kasih akan Allah taala.</bagi>
 fayaqūlu a’lamu ayyuhā al-murīdu ana aṣla I’tiqādi`l-kāmili huwa I’tiqādun ana`l-ḥaqa subḥānahu wa ta’ālā laisa kamitlihi šaiun walahu kallu šai’in. Artinya, kemudian dari itu, maka dikatanya, ketahui olehmu hai [mur] murid[14] bahwasanya asal Iktikad yang sempurna yaitu mengiktikadkan. Bahwasanya hak Subḥānahu wa ta’ālā tiada seperti-Nya suatu juapun dan bagi-Nya juapun. Dan bagi-Nya jua tiap-tiap suatu, dan (a)sma-Nya[15], dan ilak. Maka, Ia bernama Kalam. Maka, limpahnya itu kepada tubuh kita, maka limpahnya itu tahu bernama ‘Alimun. Karena Ḥayun itu yang kuasa, maka bernama Ia Qādirun, karena Ḥayun itu yang berkehendak. Maka, Ia bernama Muridan,  karena Ḥayun itu menengar, maka Ia bernama Sama’. Karena Ḥayun itu yang melihat, maka Ia bernama  Baṣar. Karena Ḥayun itu yang berkata, maka ia bernama Mutakaliman. Daripada pihak belum Ia nyata nama-Nya, dan apabila ia nyata dengan alam, maka dinamai Wujud. Maka, tiada ia didahului, Ia Adam  nyata, maka dinamai akan Dia Qadīm. Tiada sampai kepada-Nya lenyap dan fana dan binasa. Maka, dinamai ia Baqā. Dan tiada bersama-Nya. > [16]tajalli> // (5), tajalli-Nya. Seperti firman Allah Taala “laisa kamitlihi šaiuwwa huwa `s-samī’u`l-baṣīr”[17]. Artinya, tiada sepertiNya firman suatu juapun daripada pihak zat-Nya. Dan Ia jua yang menengar lagi melihat. 
Dan seyogyanya diketahui pula akan bahwasanya wujud Allah Subḥānahu wa ta’ālā dari pada pihak kauniahNya yakni daripada pihak[‘a][18] gaibnya dan itlaq-Nya tiada nyata ia bagi seorang. Dan tiadalah mendapat ia segala akal. Dan tiada [mendapat][19] mendapat dia segala Wahmun. Dan tiada mendapat Dia segala pancai(n)dra[20] yang żahir dan batin. Dan tiada datang pada kias, karena sekalian itu, Muḥdas-Nya mahasuci zat-Nya dan segala sifat-Nya daripada  yang Muḥdas itu. Dari karena inilah dikata orang arif, Lāya’ rifu`l-Lāhu`ila`l-Lāh. artinya, tiada yang mengenal akan Allah itu, melainkan Allah.
Wa`l-‘ajzu ‘andarki`l id raki adarāka. < Kata hal al-sufi Lāya’ rifu`l-Lāhu lli`l-Lāha ila`l-Lāh, tiada mengetahui Allah melainkan Allah, karena nama itu nama zat duapuluh nama. Maka, terhimpunlah empat martabat. Karena Ḥayun sehayat hidup itu namanya Hīdi`l-Lāh. Maka, pencari Ḥayun Allah itulah wujud nabi kita Muhammad Salallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, memerintah perintah tubuh. Maka, tiadalah bagi tubuh itu hidup tahu kuasa berkehendak manusia melihat berkata. Sebab itulah, maka jadi nama Ia duapuluh akan Dia. Karena hayat itu tahu, maka bernama Ilmu. Karena Ḥayun itu kuasa bernama Ia Qodrat. Karena Ḥayun itu berkehendak, jika Ia bernama Iradat. Karena Ḥayun itu menengar, maka Ia bernama Sama’. Karena Ḥayun itu melihat, maka ia bernama Baṣar. karena Ḥayun itu berkata (ilak).>[21]// (6) Artinya lemah daripada kesudahan pendapat itulah pendapat akan Dia.
Wa`n-nihāyatu`r-rujū’u ilā bidāyatin. Artinya, kesudah-sudahan-[sudahan][22]kembali kepada permulaan. Dan hendaklah kau ketahui pula hai murid, akan bahwasanya bagi wujud hak Subḥānahu wa ta’ālā itu beberapa martabat. Maka, setengah daripadanya tujuh martabat.
Yang pertama, Lā ta’ayyun. Artinya, tiada nyatanya. Dan Aḥadiyyah-pun namanya, artinya Esa. Dan martabat dzat al-bakti pun namanya. Artinya, martabat dzat semata-[se]mata[23]. Maka, Aḥadiyyah itulah martabat hakikat Allah.
Dan yang kedua, martabat Ta’ayyun Awwal. Artinya, nyata yang pertama dan Waḥdah-pun (na)manya[24]. Artinyapun Esa. Dan Šūun {ḍattiyatin}[25]-pun namanya, artinya  [kela] kelakuan[26] zat dan martabat hakikat Muhammad Ṣala`llāhu ‘alaihi wa sallam. Dan, yaitu rajin daripada pengetahuan <hak>//(7) Hak taala  akan zat-Nya, dan akan segala sifat-Nya, dan akan batin hakikat sekalian Maujud, Dan atas jalan Ijmal,  artinya daripada pihak tiada bina [se] setengahnya[27].</hak>
Dan yang ketiga martabat Ta’ayyun āni, artinya nyata yang kedua. Dan Waḥidiyyah-pun namanya, artinya yang Esa. Dan hakikat Insan-pun namanya, yakni hakikat Adam alaihi`s-sallam. Artinya, pada martabat itu nyata ruh Adam alaihi`s-sallam. Dan A’yān tābitah-pun namanya, artinya nyata yang teguh dalam ilmu dan yaitu rajin daripada pengetahuan hak taala Kun dzatnya. Dan akan segala sifatnya. Dan akan segala hakikat Maujud. Dan atas jalan tafṣīl  setengahnya daripada setengah. Maka, martabat yang  ketiga ini ketiganya Qadīm dan dinamai akan [sekali]sekalian[28] itu martabat Ketuhanan.
Bermula terdahulu dan kemudian itu daripada pihak akal jua // (8) tiada daripada pihak masa. Maka, adalah upama oleh syekh kita, Ahmad Qusasyi. Setengah karangannya Aḥadiyyah itu upama kertas yang lapang, itu tiada dalamnya suatu qayyid  jua pun, upama ini O. Waḥdah, itu upama noktah yang dalam kertas ini ʘ [ini][29]. Dan Waḥidiyyah itu upama alif ini ɞ, itu lainnya daripada segala huruf yang nyata ia daripada [nokt][30] noktah. Maka, adalah segala huruf itu sempurnanya noktah jua dan tiada ia di luar kertas. Dan adalah noktah itu waḥdah,  yakni Esa. Dan huruf itu katroh, yakni banyak. Maka, apabila[h][31] hasil[h][32] bagi seorang memandang Waḥdah dalam Katrah, dan memandang katrah dalam waḥdah, niscaya adalah ia beroleh pengikat yang tinggi tinggi. Dan pada suatu upama pula dihnun kita tatkala sunyi ia daripada membicarakan suatu, adalah// (9) ia dihnun kita upama Lā ta’ayyun. Dan tatkala dimulai membicarakan dia adalah ia upama ta’ayyun awwal, dan tatkala lanjutlah membicara itu kepada pihak yang dikehendaki daripadanya, maka adalah upama Ta’ayyun tāni. Maka, inilah dua Mital yang mehampirkan kepada paham orang yang hendak mengetahui upama segala martabat yang tiga itu. Wa`l-Lāhu’alam.
Dan yang keempat martabat Alam Arwah. Artinya, alam segala nyawa. Dan a’yān  kārijiyyah-pun namanya, artinya nyata yang di luar alam. Dan yaitu rajin daripada segala perkara yang ada. Kun yang suatu dari pada madat, puhun lagi  baiṭ, yakni terhampir yang nyata ia atas segala zatnya. Dan segala upamanya seperti jin dan setan dan malaikat.
Dan yang kelima, martabat alam Mital namanya. Artinya, alam segala rupa. Dan yaitu rajin daripada segala//(10) perkara yang di ada. Kun yang halus, yang bersusun, yang tiada menerima bahagia dan tiada menerima setengah dan tiada menerima fasik, dan tiada menerima pedih.
Dan yang keenam martabat alam Ajsam, artinya alam yang dipandang. Dan yaitu rajin daripada segala perkara yang di ada. Kun yang bersusun, yang tebal, yang menerima suka, dan menerima setengah, dan menerima fasik dan menerima pedih.
Dan yang ketujuh, martabat alam insan. Artinya, manusia yang mehimpunkan ia akan sekalian martabat yang tersebut itu, yakni daripada pihak nyata sekalian martabat itu  dalamnya. Maka, martabat yang kemudian ini sama hanya muḥdas, masuk ia di bawah Kun. yakni ẓahir ia kemudian daripada kata hak Taala, Kun. Dan dinamai akan yang empat ini martabat kehambaan. 
wabi`l-Lāhi [`t-tau] `t-taufīq[33].
Dan seyogyanya pula diketahui peri <kelainannya>//(11) kelainannya segala mereka (i)tu martabat yang tujuh itu daripada suatu martabat dengan martabat dan peri persatuannya. Maka, adapun kelainan itu bahwasanya adalah martabat Aḥadiyyah itu martabat zat Allah, dan martabat Waḥdah itu martabat sifat Allah, dan martabat Waḥidiyyah itu martabat asma Allah. Maka, martabat zat Allah yang bernama Aḥadiyyah itu, pada Ta’ayyun-Nya lain daripada martabat sifat, dan lain daripada martabat asma-Nya. Dan demikian lagi, martabat sifat yang bernama Waḥdah itu pada Ta’ayyun-Nya lain daripada martabat asma, dan daripada martabat zat. Dan demikian lagi, martabat asma yang bernama Waḥidiyyah itu pada Ta’ayyunnya lain daripada martabat sifat Allah dan lain daripada martabat zat. Dan, adapaun keesaan dan persatuan suatu martabat dengan suatu martabat daripada tujuh itu, bahwa martabat//(12) Aḥadiyyah yang martabat zat pada wujud-Nya dan hakikat-Nya Esa jua dengan Waḥdah, Waḥidiyyah. Dan demikian lagi, waḥdah yang martabat sifat itu pada [wuḥu] wujud-Nya[34] dan hakikatnya Esa jua dengan Aḥadiyyah dan Waḥidiyyah. Dan, demikian lagi Waḥidiyyah yang martabat asma itu pada wujud-Nya dan hakikat-Nya Esa jua dengan Waḥdah dan Aḥadiyyah.</kelainannya>
Adapun, kelainan martabat Alam Arwah dan Alam Miṯal dan Alam Ajsam dan Alam Insan, dengan martabat tiga yang tersebut itu niscaya tiada akan terlindungi, dan tiada terbunyi pada arif dan yang ilmu, karena martabat yang tersebut itu yakni Aḥadiyyah dan Waḥdah <dan> waḥidiyyah > [35] itu Qadīm lagi Baqā. Dan martabat yang empat yang kemudian, yakni martabat Alam Arwah dan Alam Mital dan Alam Ajsam dan Alam Insan, itu Muḥdat. Maka, yang (Qadīm)//(13) Qadīm dengan yang Muḥdat itu nyata kelainannya. </dan>
Adapun, keesaan martabat Alam Arwah dan Alam Mital dan Alam Ajsam dan Alam Insan dengan martabat tiga yang tersebut itu. Maka, martabat yang empat yang Muḥdat ini, keempatnya bayang-bayang  jua bagi martabat tiga yang Qadīm itu. Maka, bayang-bayang itu Muḥal tinggalnya dan cirinya daripada empunya bayang-bayang dan Muḥal [wu][36] wujud bayang-bayang itu lain daripada wujud empunya bayang-bayang, maka daripada pihak Muḥal tinggalnya dan cirinya dan daripada pihak tiada wujud bayang-bayang itu, [ha][37] hanya wujud bagi empunya bayang-bayang jua. Maka sebab itulah, kata ulama muhaqqiqin, Esa jua martabat empat yang Muḥdat itu dengan martabat tiga yang Qadīm itu.
Wabi`l-Lāhi`t-taufiq.
 Bermula, barang siapa daripada orang yang berbahagia ia dengan bahagia dunia dan//(14) akhirat beroleh rahasia ilmu Makrifatullah yang sempurna itu. Maka, adalah ia beroleh jalan yang betul dan adalah ia berpegang kepada tali yang tiada putus, yakni ­Lā ilāha i`llā`l-Lāh. Seperti firman Allah Ta’ala, “faqadi`s-tamsaka bi`l’urwati`l-wutqā lā nfiṣāma lahā” [38]. Artinya, maka berpegang ia kepada tali yang kokoh, yang tiada putus baginya yakni ­Lā ilāha i`llā`l-Lāh. Dan hendaklah ia masuk kepada [ra][39] bilangan tentara segala wali Allah. Tetapi, belumpai sampai ia kepada bilangan tentara wali Allah, melainkan karam ia dalam zikir Allah dan martabat dan mušahadah [supaya] supaya[40] sampai ia kepada jalan segala Wali Allah itu. Maka, adapun jalan zikir itu. Maka, hendaklah dimulai kalimat Lā itu daripada lambungnya kiri daripada hati yang sanubari, dan dilalukannya akan dia // (15)kepada belikatnya yang kanan. Maka, dibuangkannya ilāha itu ke atas belikatnya yang kanan. Kemudian maka dipalukannya dari sana dengan katanya I Lā kedalam hatinya yang sanubari Allah Allah dengan palu yang keras, serta [menyenderung] menyenderungkan[41] kepala kepada kiri supaya memberi bekas lafaz Itbat itu kedalam hatinya. Dan mesralah ia kepada segala anggotanya, karena bahwa dalam hatinya yang sanubari itu dibawah susunya yang kiri. Demikianlah dikerjakannya akan zikir itu.  
Bermula, maknai zikir itu ­Lā ilāha i`lla`l-Lāh itu [diistahḍara] diistahḍarakannya[42] dalam hatinya tatkala zikir itu. Jika ada ia daripada orang yang mubtadī lā ma’būdi illā`l-Lāh. Artinya, tiada yang disembah hanya Allah. Dan jika ia daripada orang yang mutawasi muṭalūbi illā`l-Lāh, artinya tiada yang dituntut hanya Allah. Dan//(16) jika ada ia daripada orang yang Muntahī Lā maujūdi ila`l-Lāh. Artinya, tiada yang Maujud hanya Allah. Dan adapun jalan Muraqabah itu, bahwasannya difanakannya zat dirinya, serta barang yang baginya daripada hatinya kemudian, maka diitsbatkan akan wujud hak taala dalam hatinya. Dan adapun jalan tujuh itu bahwa dihadapkannya mata hatinya kepada wujud Allah itu, serta tiada dilupakannya dan dilalaikannya nama itu dalam hatinya. Dan adapun jalan mesyahadat itu, bahwasannya ditaqiqkannya akan A’yan tabitah dirinya ini dengan A’yan khārijiyyah dirinya ini. Maka, tatkala mutaḥaqiqan dan dari suatulah keduanya. [Maka itu][43], maka dibawanyalah jalan memandang kepada wujud Allah taala itu, yakni bahwasannya dipandangkannya kepada wujud Allah yang esa yang laisa kamitlihi šaiuw-wa huwa `s-samī’u `l-baṣīr, serta dihilangkannya [segala] //(17) segala yang lain daripada Allah daripada hatinya se(pe)rti[44] yang diitbatkan gurunya itu. Maka,  adalah mušahadah ini terlebih dan tertinggi-tinggi daripada mušahadah dengan yang Lā. Karena mušahadah dengan jalan ini mušahadah dalam zat seperti isyarat fanāfi`l-Lāhi dan baqā bi`l-Lāh.
Wabi`l-Lāhi `t-taufiq.
Bermula, adapun selesailah fakir yang mengarang risalah ini dan {ditemuinya}[45] dengan sendirinya silsilah syattariyah itu. Maka, yaitu bahwa adalah ia mengambil talqin zikir dan tarekat dan memakai harquh yang mulia dan bayyi’at muṣāḥibah daripada syekhnya yang ’arif bi`l-Lah lagi yang kamil mukamil yaitu ‘Abdu`r-rauf . Tamat kitab ini Tuḥfatu`l-Aḥbāb. Amīn yā rabba `l-‘ālamīn amī(n)[46]. Milik dayang.

1 komentar:

  1. kemanakah saya agar mendapatkan kitab Tuhfatul ahbab karya syehk Abdurrahman al-bawwani, adakah yg menjualnya

    BalasHapus